Sketsa Langit Biru
Cengkeram malam pernah menghimpit semua mimpi. Diam tanpa berucap tentang sedikit arti dan makna. Semua yang bernaung hanya terdiam, hela nafas hanya meredam debaran dan denyut nadi yang ingin berteriak. Seperti hanya ada satu definisi untuk sebuah kesempurnaan gelap kala itu. Meronta hasrat ingin memetik "keingintahuan," tanpa mampu melihat cara untuk bertanya. —jika ini bukan akhir katakanlah awal.
Ini bukan tentang macan kumbang; juga bukan bualan kucing raksasa yang bertarung dalam gelap untuk seonggok daging mangsa yang telah terkapar. Kuiring malam itu dalam sketsa langit yang pernah melenggokkan tarian bisu, menghapus hamparan biru. Mau tak berjawab panjang bila saja rantai-rantai tak membatas waktu. Rehat dan baring membawa kisah tak berkesudahan menghantar imagi mengikis penat berkulum madu.
Sekecil harapan untuk melangkah agar ada nama dan makna berwujud yang disebut hidup kembali diguncang tanya dalam impian yang dilumpuhkan oleh seling-seling pengikat yang tak terputuskan; berbanding dan berganti arah pandang pada indah gambar yang terhampar menutup langit-langit memijarkan warna di ruang-ruang cengkerama para dewa dan dewi pemilik negeri. Sekatub arah aliran murni menuang cinta pada indahnya sang elang memberi janji untuk kembali padanya akankah berhenti. Tak kutanya ini pada mentari pun pada rembulan juga tidak pada bintang-bintang